Riba adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti tambahan (Al-Ziyadah), berkembang (An-Nuwuw), meningkat (Al-Irtifa), dan membesar (Al-‘uluw).
Imam Sarakhzi menjelaskan bahwa riba adalah sebagai tambahan yang disyariatkan dalam suatu transaksi bisnis tanpa adanya padangan (‘iwad) yang dibenarkan secara syariah terhadap setiap penambahan tersebut.
Semua penambahan yang diperoleh tanpa adanya suatu penyeimbang atau pengganti (‘iwad) yang dibenarkan secara syariah adalah riba.
Yang dimaksud sebagai transaksi penyeimbang atau pengganti (‘iwad) adalah transaksi bisnis atau komersil yang melegitimasi adanya suatu penambahan yang adil.
Seperti misalnya jual beli, sewa-menyewa, atau bagi hasil proyek, dimana dalam transaksi tersebut terdapat berbagai faktor penyeimbang berupa ikhtiar atau usaha, resiko, dan biaya. (Antonio, 1999).
Berdasarkan ijmak konsensus dari para ahli fikih tanpa terkecuali, bunga tergolong Al-Ziyadah (Chapra dalam Ascarya 2007) karena riba mempunyai persamaan arti atau makna dan kepentingan dengan bunga (interest).
Lembaga Islam Internasional atau pun Nasional sudah memberikan keputusan sejak tahun 1965 bahwa bunga bank atau sejenisnya adalah sama dengan riba dan diharamkan secara syariah (Ascarya, 2007).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa nomor 1 tahun 2004 bahwa bunga yang dikenakan dalam suatu transaksi pinjaman (al-qardh) atau utang piutang (al-dayn), baik yang diaplikasikan oleh individu, lembaga keuangan, atau pun yang lainnya, hukumnya adalah HARAM.
Pengertian Riba Menurut Para Ahli Fikih

Syeikh Muhammad Abduh
Syeikh Muhammad Abduh menjelaskan bahwa, pengertian riba adalah setiap penambahan yang disyaratkan oleh seseorang yang mempunyai harta kepada seseorang yang meminjam hartanya atau mengutang yang dikarenakan diundurnya janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang sudah ditetapkan di awal perjanjian.
Rahman Al-Jaziri
Rahman Al-Jaziri menjelaskan bahwa pengertian riba adalah suatu akad atau perjanjian yang terjadi dengan suatu pertukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut syara’ atau terlambat salah satunya.
Al-Mali
Al-Mali menjelaskan bahwa pengertian riba adalah suatu akad atau perjanjian atas pertukaran suatu barang atau komoditas tertentu yang tidak diketahui perimbangan menurut syara’, pada saat berakad atau mengakhiri penukaran ke-2 belah pihak atau salah 1 dari ke-2 nya.
Sumber Hukum

1. Kitab Yahudi, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang atau pun bahan makanan atas apa pun yang dapat dibungakan”. (Perjanjian Lama, Kitab Ulangan Pasal 23 ayat 19).
“Jika kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang mengutang-kan, jangan kamu minta keuntungan untuk hartamu”. (Perjanjian Lama, Kitab Keluaran Pasal 22 ayat 25).
2. Al-Quran
Berikut ini merupakan beberapa ayat dalam Al-Quran yang menjelaskan tentang larangan riba.
QS Ar-Rum ayat 39

Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”. (QS. Ar-Rum: 39)
QS An-Nisa ayat 161

Artinya: “Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripada-nya, dank arena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil.
Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. (QS. An-Nisa: 161).
QS Ali Imran ayat 130

Artinya: “Wahai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130).
QS Al-Baqarah 278-280

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Baqarah: 278).

Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah: 279).

Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berikanlah ketangguhan sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 280).
3. Al-Hadist
Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam bersabda “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seorang yang melakukan zina dengan ibunya”. (HR Al-Hakim dari Ibnu Mas’ud)
Jabir berkata “Bahwa Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatat-nya dan 2 orang saksi-nya, kemudian beliau bersabda “mereka itu semua sama””. (HR. Muslim)
4. Khotbah Haji Terakhir Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan dia pasti akan menghitung amalan-mu.
Allah telah melarang amalan-mu mengambil riba, oleh karena itu utang akibat riba harus dihapuskan.
Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan”.
Jenis – Jenis Riba

1. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah riba yang terjadi atau muncul karena terjadi transaksi penukaran atau barter.
Riba fadhl ini bisa terjadi jika terdapat kelebihan atau penambahan pada salah satu dari barang sejenis/barang ribawi yang dipertukarkan baik secara tunai atau pun kredit.
Contoh: menukar perhiasan emas 40 gram dengan uang emas senilai 3 gram.
Selain dari barang yang sejenis, juga bisa terjadi dari pertukaran barang yang tidak sejenis yang dilakukan secara kredit atau tidak tunai.
Contohnya: transaksi jual beli valuta asing yang dilakukan secara kredit atau tidak tunai (spot).
Yang dimaksud dengan barang ribawi adalah barang atau benda yang secara kasat mata tidak bisa dibedakan satu dengan yang lainnya.
Para ahli fikih (fuqaha) telah sepakat bahwa terdapat 7 macam barang ribawi, sebagaimana tercantum dalam hadist, yaitu:
- Emas
- Perak
- Jenis gandum
- Kurma
- Tepung atau zabib
- Anggur kering
- Garam
Mazhab Hanafi dan Hambali memperluas konsep dari barang ribawi pada barang yang bisa dihitung dengan melalui satuan timbangan atau takaran.
Mazhab syafi’i memperluas konsepnya pada mata uang (an-naqd) dan juga pada makanan (al-ma’thum).
Sedangkan Mazhab Maliki memperluas konsep barang ribawi pada mata uang, sifat al-iddihar (jenis makanan yang bisa disimpan lama), dan al-iqtiyat (jenis makanan untuk menguatkan badan).
Pertukaran dari barang ribawi atau barang yang sejenis ini mengandung ketidakjelasan (gharar) bagi ke-2 pihak yang melakukan transaksi atas setiap nilai barang yang dipertukarkan.
Ketidakjelasan tersebut bisa merugikan salah 1 pihak. Sehingga ketentuan syariah mengatur jika akan dipertukarkan jumlahnya harus sama.
Jika dia tidak mau menerima dalam jumlah yang sama dikarenakan mutunya yang berbeda.
Maka jalan keluar yang bisa diambil adalah barang yang dimilikinya dijual terlebih dahulu kemudian dari uang hasil penjualan tersebut digunakan untuk membeli barang yang diperlukan.
Sedangkan untuk barang non-ribawi dapat memungkinkan dalam jumlah yang berbeda asalkan penyerahan-nya dilakukan dari tangan ke tangan atau tidak ditunda.
2.Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah adalah yang terjadi atau muncul karena hutang piutang.
Riba nasi’ah bisa terjadi dalam setiap jenis transaksi kredit atau hutang piutang dimana 1 pihak harus membayar secara lebih besar dari pokok pinjamannya.
Kelebihan atau tambahan dari pokok pinjamannya dengan nama apa pun (bunga/interest/bagi hasil), dihitung dengan menggunakan cara apa pun (floating rate atau fixed rate), besar atau pun kecil jumlahnya, semuanya itu tergolong sebagai riba.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang sudah disampaikan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah 278-280.
Kelebihan tersebut bisa berupa tingkat kelebihan atau tambahan tertentu yang disyaratkan kepada yang mempunyai hutang. Untuk jenis tersebut ada yang menyebutnya sebagai riba qard.
Misalnya seperti bank sebagai kreditor (yang memberikan hutang/pinjaman) dan mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya sudah ditentukan di awal transaksi.
Nah bunga tersebutlah yang termasuk ke dalam jenis riba nasi’ah. Demikian pula dengan bunga yang dibayarkan oleh pihak bank kepada nasabah-nya atas deposito.
Di samping itu, kelebihan itu bisa berupa suatu tambahan yang melebihi pokok pinjamannya.
Karena yang meminjam tidak mampu untuk mengembalikan dana pinjaman tepat pada waktu yang sudah ditetapkan. Untuk jenis tersebut ada yang menyebutnya sebagai riba jahiliyyah.
Misalnya seperti pengenaan bunga terhadap transaksi kartu kredit yang dibayarkan penuh tagihannya atau tidak dibayar tepat pada waktu yang sudah ditentukan atau denda yang diberikan terhadap hutang yang tidak dibayarkan tepat pada waktunya.
Dampak Riba dalam Kehidupan Manusia

Imam Razi menjelaskan alasan mengapa bunga dalam Islam ini dilarang (Qardhawi, 2000), antara lain sebagai berikut.
- Riba adalah suatu transaksi yang tidaklah adil dan menimbulkan akibat peminjam menjadi miskin karena dieksploitasi. Riba ini merupakan tindakan mengambil harta orang lain tanpa adanya imbalan. Misalnya seperti seorang yang menjual senilai Rp.1 namun memperoleh bayaran Rp.2. Hal tersebut berarti dia memperoleh tambahan Rp.1 tanpa adanya suatu pengorbanan. Sedangkan harta atau kekayaan seseorang adalah hak miliknya yang harus dihargai/dihormati, sesuai dengan hadist berikut.
“Kehormatan harta seseorang seperti kehormatan darahnya”. (Abu Numan dalam Al Hilyah).
- Akan menghalangi orang untuk melakukan kegiatan usaha karena pemilik bisa menambah kekayaannya dengan transaksi riba baik tunai atau berjangka. Sehingga pemilik dari harta riba ini akan meremehkan tentang mencari penghidupan sehingga dia tidak mau untuk menanggung berbagai resiko dari kegiatan usaha, berdagang, dan semua pekerjaan yang berat. Hal tersebut akan berakibat hilangnya manfaat bagi masyarakat. Padahal sudah kita ketahui bersama bahwa kemaslahatan dunia tidak akan bisa tercapai tanpa adanya ketrampilan, perdagangan, dan juga pembangunan.
- Akan menjadi penyebab terputus-nya hubungan baik antar masyarakat adalah hal pinjam meminjam. Apabila riba ini diharamkan, maka setiap orang akan merasa ikhlas untuk meminjamkan uang Rp.1 dan memperoleh pengembalian sebesar Rp.1. Sedangkan apabila riba dihalalkan, orang yang mempunyai kebutuhan mendesak akan memperoleh uang Rp.1 dan mengembalikannya sebesar Rp.2. Hal tersebut akan berakibat pada hilangnya rasa balas kasihan, kebaikan, dan kebijakan.
- Pada umumnya orang yang memberikan suatu pinjaman ini adalah mereka yang mampu atau kaya, sedangkan mereka yang meminjam adalah yang kurang mampu atau miskin. Pendapat yang menghalalkan riba berarti memberikan jalan bagi orang kaya untuk mendapatkan tambahan kekayaan dari orang miskin yang lemah. Sehingga orang yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Padahal tindakan tersebut tidak diperbolehkan berdasarkan nilai kasih saying dari Allah yang Maha Penyayang.
Perbedaan Riba dan Jual Beli

Sebagian orang masih memperdebatkan dan juga menganggap bahwa riba itu sama dengan jual beli.
Namun Allah sudah menetapkan secara tegas bahwa riba tidak sama dengan jual beli. Jual beli ini dihalalkan sedangkan riba diharamkan.
Hal tersebut disampaikan Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 275.

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah sudah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang sudah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang sudah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang tersebut adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah: 275).
Jual Beli
- Diperbolehkan (dihalalkan) oleh Allah.
- Harus terdapat pertukaran manfaat atau barang yang diberikan, sehingga terdapat manfaat atau keuntungan yang didapatkan oleh pembeli dan juga penjual.
- Adanya beban yang ditanggung oleh penjual, karena terdapat sesuatu yang ditukarkan.
- Mempunyai resiko untung atau rugi, sehingga dibutuhkan kerja atau usaha, kesungguhan dan juga keahlian.
Riba
- Dilarang (diharamkan) oleh Allah.
- Tidak adanya pertukaran suatu barang atau manfaat, dan manfaat atau keuntungan hanya diterima oleh si penjual.
- Tidak adanya beban yang ditanggung oleh si penjual.
- Tidak mempunyai resiko sehingga tidak dibutuhkan kerja atau usaha, kesungguhan dan juga keahlian.
Akhir Kata
Demikianlah sedikit pembahasan tentang riba. Semoga artikel ini bisa bermanfaat, bisa membuka wawasan kamu, dan menambah pengetahuan kamu.
Jika ada kritik, saran, atau pertanyaan silakan sampaikan di kolom komentar. Terima kasih.